Pernah merasa tidak aman setelah mengirim foto atau video pribadi? Rasa khawatir itu bukan tanpa alasan. Di era digital saat ini, unggahan pribadi yang tersebar luas bisa menjadi senjata yang sangat berbahaya. Mulai dari perundungan online, pemerasan, hingga ancaman yang lebih serius.
Di usia 12 tahun, Amanda dikenal sebagai gadis ceria yang selalu dikelilingi oleh teman-temannya, baik di sekolah maupun di dunia maya. Hidupnya dipenuhi gelak tawa, petualangan kecil, dan percakapan panjang dengan teman-teman online yang ia anggap seperti saudara. Namun, segalanya berubah dalam sekejap ketika satu peristiwa muncul dan mengguncang dunianya, membawa Amanda ke arah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Dikutip dari Intisari.Grid.id, cerita ini bermula ketika Amanda berteman dengan seorang pria di media sosial, sebut saja namanya Alex. Obrolan mereka berkembang semakin intim. Puncaknya, dalam sebuah video chat, Amanda terbujuk untuk melakukan hal yang sangat ia sesali, yaitu memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya bersifat pribadi.
Alex memanfaatkan situasi ini untuk kembali menghubungi Amanda. Dia mengancam akan menyebarkan videonya yang sangat pribadi itu jika Amanda tidak mau melakukan adegan vulgar lagi. Ancaman ini membuat Amanda ketakutan dan stres. Meski begitu, Amanda tetap menolak permintaan tidak masuk akal dari Alex. Sayangnya, ancaman Alex terbukti nyata. Video itu akhirnya tersebar luas.
Kehidupan Amanda pun berubah drastis sejak saat itu. Sekolah menjadi tempat yang mengerikan baginya. Teman-teman yang dulu dekat kini menjauhinya, sementara teman-teman baru hanya datang untuk mengejek dan mempermalukan. Video itu bagaikan bom yang meledak di hidupnya, menghancurkan kepercayaan dirinya dan membuatnya merasa terisolasi di dunia yang penuh dengan penghakiman.
Sexting Pintu Perzinaan
Di era digital yang terus berkembang, sexting menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan. Aktivitas ini, berupa pengiriman pesan, foto, atau video bermuatan seksual melalui media digital, tak hanya melanggar norma agama dan sosial, tetapi juga membawa dampak buruk yang sulit dihindari, terutama bagi remaja. Bagi Muhammad Bashori, Ketua Pokja Educational Clearing House (ECH) DPP LDII, fenomena ini lebih dari sekadar masalah sosial. “Sexting ini seperti ‘ranjau iblis’ yang menjebak manusia dalam dosa,” ujarnya penuh keprihatinan.
Bashori menganggap sexting sebagai pintu menuju perzinaan. Ia menegaskan bahwa zina tidak selalu berbentuk hubungan fisik, tetapi bisa dimulai dari komunikasi intens yang melanggar norma. “Prosesnya dimulai dari perkenalan, bertukar kontak, lalu berkembang menjadi tindakan asusila melalui telepon atau video call,” jelasnya. Hal ini, menurutnya, tidak hanya mencemari moral, tetapi juga membuka peluang eksploitasi terhadap perempuan sebagai korban utama.
Berbagai kasus di Indonesia menunjukkan dampak serius fenomena ini. Studi di JAMA Pediatrics menemukan bahwa 15% remaja di bawah 18 tahun pernah mengirim pesan bermuatan seksual, sementara 27% menerima pesan serupa. Tak jarang, korban mengalami ancaman dan penyebaran konten tanpa izin, yang berujung pada stres, kecemasan, hingga depresi berkepanjangan.
Dalam wawancara dengan NUANSA, Bashori menekankan pentingnya menjaga pandangan dan perilaku, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Isra ayat 32: “Janganlah mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” Ia mengingatkan bahwa sexting dapat mengganggu perkembangan emosional remaja dan meningkatkan tekanan psikologis.
Menurut Bashori, pencegahan sexting membutuhkan pendekatan holistik. Komunikasi terbuka antara orang tua dan anak menjadi langkah utama. “Orang tua harus mengajarkan anak sejak dini tentang batasan tubuh dan hubungan yang sehat,” paparnya. Pendidikan seksual yang bijaksana di rumah juga penting agar anak memahami perasaan mereka tanpa terjerumus ke dalam perilaku berisiko.
Namun, edukasi seksual saja tidak cukup. Pendidikan agama dan moral menjadi benteng utama dalam membentuk karakter anak. Sayangnya, sikap kaku masyarakat dalam membahas hal ini sering kali membuat anak memberontak atau mencari kenyamanan di tempat lain. Bashori mengingatkan, “Ketika anak menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis, jangan langsung dimarahi. Berikan pemahaman dengan kasih sayang.”
Sexting bertentangan dengan nilai luhur yang mengajarkan pentingnya menjaga kehormatan diri dan orang lain. “Mengirim foto atau video tak pantas adalah tindakan yang melanggar norma agama dan moral,” tegasnya. Islam menawarkan solusi preventif melalui konsep ghadul bashar (menundukkan pandangan), menutup aurat, serta larangan pacaran dan zina.
Bashori menutup dengan pesan mendalam: “Doa orang tua adalah senjata paling ampuh untuk melindungi anak-anak dari tantangan zaman.” Menurutnya, fenomena sexting membutuhkan kerja sama keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah agar nilai moral dan agama tetap menjadi landasan dalam menghadapi kemajuan teknologi. Dengan pendekatan menyeluruh, generasi muda dapat terlindungi dari jebakan ini, menciptakan lingkungan sosial yang lebih bermartabat di era digital. /*