Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota yang tak pernah tidur, Ahmad dan keluarganya tinggal di sebuah apartemen sederhana di pinggiran Jakarta. Ahmad adalah seorang pegawai kantoran di perusahaan teknologi ternama, sedangkan istrinya, Lina, bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Mereka memiliki dua anak: Fajar yang berusia 12 tahun dan Dinda yang baru menginjak usia 8 tahun.
Seperti kebanyakan keluarga urban lainnya, rutinitas Ahmad dipenuhi dengan rapat daring, laporan yang harus diselesaikan sebelum tenggat waktu, dan ponsel yang tak pernah berhenti berdering. Lina pun tak kalah sibuk dengan tugas-tugas mengajar dan administrasi sekolah. Anak-anak mereka, Fajar dan Dinda, lebih sering tenggelam dalam dunia virtual: Fajar dengan game online-nya dan Dinda dengan video-video hiburan.
Hari-hari mereka berlalu seperti ini: makan malam dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan gawai, bahkan momen akhir pekan tak lagi menjadi waktu berkualitas karena Ahmad sering membawa pulang pekerjaannya. Ahmad mulai merasakan sesuatu yang hilang—sebuah kekosongan yang tidak bisa diisi oleh pencapaian karier atau hiburan digital.
Suatu hari, Ahmad menghadiri pemakaman seorang tetangga lamanya di kampung halaman. Di sana, ia melihat bagaimana masyarakat saling mengenal, berbagi cerita, dan mendukung satu sama lain dalam duka. Ia teringat masa kecilnya, bermain bersama teman-teman tanpa gawai, mengobrol panjang dengan orang tua saat makan malam, dan merasakan hangatnya kebersamaan.
Perjalanan pulang dari kampung itu menjadi titik balik bagi Ahmad. Ia memutuskan untuk mengubah pola hidup keluarganya. Ahmad mengusulkan sebuah aturan baru: “Zona Bebas Gawai” setiap malam mulai pukul 7 hingga 9. Awalnya, Fajar dan Dinda mengeluh, Lina pun merasa canggung karena terbiasa memeriksa ponselnya. Namun Ahmad bersikeras.
Mereka mulai dengan kegiatan sederhana: bermain papan permainan, bercerita tentang kejadian sehari-hari, dan memasak bersama. Ahmad juga mengajak keluarganya berjalan-jalan sore di taman dekat rumah, tanpa ponsel, hanya menikmati kebersamaan. Perlahan, suasana rumah berubah. Tawa kembali terdengar, cerita-cerita kecil menjadi hal yang dinantikan, dan kedekatan yang sempat hilang mulai terbangun lagi.
Fajar yang dulu pendiam mulai lebih terbuka tentang teman-temannya di sekolah. Dinda suka sekali bercerita tentang hal-hal kecil yang ia pelajari. Lina merasa lebih rileks karena bisa berbagi beban pikiran tanpa gangguan notifikasi. Ahmad sendiri menemukan ketenangan yang tak pernah ia dapatkan dari layar ponselnya.
Kisah keluarga Ahmad mengajarkan kita bahwa di tengah laju kehidupan modern yang serba cepat, kita masih bisa menemukan kehangatan dan kedekatan. Tidak perlu perubahan besar, cukup dengan meluangkan waktu berkualitas, meletakkan gawai sejenak, dan benar-benar hadir untuk orang-orang terdekat. Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak waktu yang kita miliki, tetapi seberapa baik kita menggunakannya untuk menjaga ikatan yang berarti. /*