Di tengah riuhnya kehidupan remaja modern, masalah kesehatan mental menjadi momok yang tak kasat mata. Namun, di balik senyum dan tawa mereka, tak jarang tersimpan luka batin yang dalam. Di sinilah peran penting Pusat Konseling hadir sebagai oase harapan, tempat di mana remaja dapat menemukan dukungan dan pertolongan.
Ruang konseling itu tidak dingin dan kaku seperti yang dibayangkan. Justru, suasananya hangat dan penuh keakraban. Sandra, seorang konselor yang penuh empati, duduk berhadapan dengan Rani, seorang remaja yang sedang berjuang melawan luka batinnya. “Rani, aku di sini untukmu. Jangan ragu untuk bercerita tentang apa pun yang kamu rasakan,” ujar Sandra lembut.
Awalnya, Rani ragu dan malu untuk membuka diri. Namun, dengan kesabaran dan penuh pengertian, Sandra berhasil menciptakan suasana yang aman dan nyaman. Perlahan, Rani mulai bercerita tentang sakit hatinya, perasaan dikhianati, dan mimpi-mimpi yang kini terasa hancur berkeping-keping.
Sandra mendengarkan dengan saksama, tanpa menyela atau menghakimi. Ia memahami bahwa Rani hanya butuh didengarkan dan dimengerti. Sesekali, Sandra memberikan tanggapan yang relevan, menunjukkan bahwa ia benar-benar hadir dan memperhatikan setiap kata yang Rani sampaikan.
“Aku tahu, ini tidak mudah untukmu. Tapi, ketahuilah bahwa kamu tidak sendirian,” kata Sandra tulus. “Banyak remaja lain yang juga mengalami hal serupa. Dan kamu luar biasa karena berani datang ke sini untuk mencari bantuan.”
Rani mulai merasa sedikit lega. Ada seseorang yang akhirnya mengerti perasaannya. Sandra tidak hanya menjadi pendengar yang baik, tetapi juga memberikan dukungan dan motivasi. Ia membantu Rani melihat sisi positif dari situasi yang dihadapinya. “Setiap masalah pasti ada hikmahnya, Rani. Mungkin saat ini kamu belum bisa melihatnya. Tapi percayalah, ada pelajaran berharga yang bisa kamu ambil dari pengalaman ini,” tutur Sandra.
Sandra juga membantu Rani mengidentifikasi kekuatan yang ada dalam dirinya. Ia mendorong Rani untuk fokus pada hal-hal positif dan tidak menyerah pada keadaan. “Kamu adalah remaja yang kuat dan berani. Kamu punya potensi luar biasa. Jangan biarkan rasa sakit ini menghalangi langkahmu meraih impian,” kata Sandra memotivasi.
Setelah sesi konseling berakhir, Rani merasa jauh lebih baik. Beban yang selama ini menghimpit dadanya terasa sedikit terangkat. Ia merasa lebih percaya diri dan memiliki harapan baru. “Terima kasih, Kak Sandra. Kakak sudah banyak membantu aku,” ucap Rani sambil menyeka air mata.
Kisah Rani dalam ilustrasi di atas hanyalah satu dari jutaan cerita serupa yang tersembunyi di balik senyum remaja Indonesia. Sandra, melalui tim konselor yang dipimpinnya, mencoba membantu banyak remaja mengatasi masalah psikologis mereka.
Indonesia saat ini menghadapi tantangan darurat kesehatan mental, terutama di kalangan remaja. Berdasarkan survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022, ditemukan bahwa 34,9% atau sekitar 15,5 juta remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Angka ini menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja di Indonesia berjuang menghadapi gangguan kejiwaan.
Kisah-kisah seperti Rani menjadi pengingat bahwa kesehatan mental remaja adalah isu yang mendesak. Untuk mengatasi masalah ini, I-NAMHS merekomendasikan beberapa langkah, antara lain: (1) edukasi tentang cara mencari pertolongan profesional bagi mereka yang membutuhkan, dan (2) pengembangan kebijakan serta program yang mendukung kesehatan mental.
Pemerintah telah menjadikan kesehatan mental sebagai program prioritas dalam sistem kesehatan nasional. Program ini dianggap krusial karena kesehatan mental generasi muda, sebagai penerus bangsa, sangat menentukan keberhasilan visi Indonesia Emas 2045. Masa depan bangsa terletak di tangan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kuat secara emosional dan mental. Dukungan dari keluarga, teman sebaya, serta kebijakan yang berpihak pada kesehatan mental menjadi kunci untuk mewujudkan harapan tersebut. /*