Pernahkah Anda merasakan bagaimana sebuah niat mampu mengubah arah langkah dan pengalaman hidup Anda? Mari kita intip kisah Ahmad, Budi, dan Candra, tiga sahabat yang mengikuti jejak langkah mereka dalam menghadiri sebuah pengajian.
Ahmad, seorang pemuda yang dahaga akan ilmu, datang dengan hati yang penuh harap. Baginya, mendengarkan tausyiah adalah oase di tengah padang pasir kehidupan, tempat di mana ia dapat menemukan mata air kebijaksanaan. Setiap kata yang diucapkan sang ustadz adalah lentera yang menerangi jalan hidupnya. “Setiap ilmu adalah cahaya, dan aku ingin menyalakan cahayaku,” bisik hatinya, penuh semangat.
Di sisi lain, Budi merasa sedikit terbebani dengan ajakan Ahmad. Bukan karena ia tidak menghargai kegiatan keagamaan, namun ia merasa belum siap untuk menyelami lautan ilmu agama yang begitu luas. Meski demikian, ia tetap menemani Ahmad, berharap materi kali ini tidak terlalu “berat”. “Semoga saja ini tidak membosankan,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Sementara itu, Candra memiliki motivasi yang berbeda. Baginya, kegiatan pengajian adalah surga kuliner. Ia datang bukan untuk mencari ilmu, melainkan untuk mengisi perutnya yang keroncongan. “Yang penting ada konsumsi gratis, urusan lain belakangan,” pikirnya, sambil membayangkan hidangan lezat yang akan disantapnya.
Malam itu, mereka bertiga menghadiri majelis taklim Al-Hikmah, sebuah majelis yang rutin mengadakan pengajian setiap malam Jumat. Ustaz Karim, seorang alim yang bijaksana, memimpin pengajian dengan penuh kasih sayang. Beliau menyampaikan materi tentang “Keikhlasan Niat”.
Ahmad mendengarkan dengan saksama, mencatat setiap poin penting yang disampaikan Ustaz Karim. Hatinya dipenuhi rasa syukur karena telah mendapatkan ilmu yang begitu berharga. “Ikhlas itu seperti angin, tak terlihat tapi terasa,” kata Ustaz Karim, yang membuat Ahmad merenung dalam diam.
Budi, yang awalnya merasa bosan, mulai tertarik dengan keseriusan Ahmad. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata yang diucapkan Ustaz Karim. Seusai pengajian, mereka berdiskusi tentang materi yang baru saja mereka dengar. Budi pun mulai merasakan kehangatan persahabatan yang begitu erat. “Ternyata, ada yang menarik juga dari hal-hal sederhana seperti ini,” pikirnya, dengan senyum kecil di wajahnya.
Candra, seperti biasa, tidak terlalu memperhatikan ceramah. Pikirannya hanya tertuju pada makanan yang akan dibagikan setelah pengajian. Saat tiba waktunya, ia langsung menyantap hidangan yang disajikan dengan lahap. Perutnya kenyang, hatinya senang. “Misi selesai! Perut kenyang, hati senang,” ujarnya, tanpa menyadari bahwa ia telah melewatkan sesuatu yang jauh lebih berharga.
Kisah ini mengajarkan kepada kita betapa pentingnya niat dalam setiap tindakan. Niat adalah kompas yang menuntun langkah kita, menentukan hasil yang akan kita dapatkan. Ahmad mendapatkan ilmu yang bermanfaat, Budi menemukan kehangatan persahabatan, dan Candra mendapatkan kenikmatan sesaat.
Innamal a’malu binniyat, sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Semoga kita bisa senantiasa menjaga niat agar setiap langkah yang kita ambil membawa manfaat, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. /*