Malam itu, Dinda –bukan nama sebenarnya– duduk di pojok kamarnya. Matanya sembab, dadanya sesak. Kata-kata suaminya masih terngiang di telinganya: “Kamu ini istri yang tidak ridho diatur, boros, tidak bisa mengurus anak dengan baik, dan tidak menghormati suami!” Seakan-akan, semua jerih payahnya selama ini tak berarti. Empat anak yang ia rawat dengan penuh cinta, pengorbanan yang ia lakukan demi rumah tangga, seolah lenyap dalam satu tuduhan yang menyakitkan.
Seiring waktu, hati Dinda semakin gelisah. Benarkah ia istri yang buruk? Mengapa suaminya berpikir demikian? Ia tak tahu harus berbicara dengan siapa, hingga akhirnya ia memberanikan diri menemui seorang ustadz untuk mencari ketenangan.
Dengan suara bergetar, Dinda menceritakan keluh kesahnya. Ia ingin tahu, bagaimana harus bersikap ketika dirinya dinilai buruk oleh suaminya? Bagaimana menghadapi hati yang terluka, sementara ia tetap harus kuat membesarkan anak-anaknya?
Ustadz itu mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata lembut, “Pada hakikatnya, semua cobaan datang dari Allah, bisa melalui harta, anak, suami, bahkan pekerjaan. Jika Anda ingin nasihat saya, maka tetaplah sabar dan tegar. Anak-anak Anda adalah calon pemimpin di masa depan, dan Anda adalah madrasah pertama mereka.”
Dinda terdiam, menyimak kalimat itu dalam-dalam.
“Anda harus memahami bahwa suami juga memiliki beban berat mencari nafkah untuk keluarga. Mungkin ia lelah, mungkin ia punya cara berpikir yang berbeda. Tetapi ingat, sebagaimana Anda tidak sempurna, suami pun manusia yang punya kekurangan. Maka pahamilah dan hargai perjuangannya.”
Dinda merasa tersentak. Mungkin selama ini ia hanya fokus pada rasa sakit hatinya, tanpa melihat sisi lain dari kehidupan suaminya.
“Namun,” lanjut sang ustadz, “jika ada hal yang membuat Anda tidak nyaman, bicarakanlah. Apa yang dimaksud dengan tidak ridho diatur suami? Apa yang dimaksud dengan boros? Apakah ada kesalahpahaman yang belum terselesaikan? Komunikasikan dengan baik, dan kalau memang ada yang salah, maka saling memaafkanlah.”
Mendengar itu, Dinda mulai merasa lebih tenang. Ia sadar, tak ada manusia yang sempurna. Suaminya mungkin keras dalam berbicara, tapi bukan berarti ia harus membalas dengan kepahitan yang sama.
Ustadz itu melanjutkan, “Jadilah istri yang tetap istiqomah, berpenampilan baik, berkata lembut, dan berbuat baik. Ciptakan suasana yang penuh pengertian dan komunikasi dalam rumah tangga. Karena pada akhirnya, segala cobaan bisa menjadi sarana kemuliaan jika dihadapi dengan sabar dan ikhlas.”
Dinda menarik napas panjang. Kata-kata itu bagai embun yang menyejukkan hatinya. Ia sadar, hidup tak selamanya berjalan mulus. Ada saatnya ia diuji, ada saatnya ia harus belajar memahami. Namun yang terpenting, ia tetap menjadi istri yang baik, bukan karena ingin dipuji, tetapi karena ingin ridho Allah.
Sebelum meninggalkan tempat itu, ustadz memberikan satu pengingat terakhir. “Jangan takut dengan ancaman bahwa surga dan neraka seorang istri hanya ditentukan oleh ridho suami. Karena pada akhirnya, yang menentukan adalah ridho Allah. Fir’aun mungkin tak pernah ridho pada istrinya, Asiyah, tapi ia tetap menjadi wanita mulia di sisi Allah. Maka, jangan hanya sibuk mencari ridho manusia, tetapi carilah ridho Allah.”
Dinda tersenyum untuk pertama kalinya malam itu. Ia merasa lebih kuat, lebih yakin. Ada begitu banyak alasan untuk bersedih, tetapi ada lebih banyak alasan untuk tetap bersyukur dan tersenyum.
Dan di dalam hati, ia berjanji: Aku akan terus berjuang, bukan hanya untuk rumah tanggaku, tetapi juga untuk kebahagiaan dan ketenangan jiwaku. /*