Ketua DPW LDII DIY Atus Syahbudin (kiri) bersama Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat dan Alumni UGM Arie Sujito (kanan).
Yogyakarta (13/8). Ketua DPW LDII Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Atus Syahbudin, S.Hut., M.Agr., Ph.D. menghadiri undangan DPR RI dalam acara “Sosialisasi Pembinaan Ideologi Pancasila” bekerja sama dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Acara berlangsung di Grand Serela Hotel, Jalan Magelang Km 4 No. 145, Sinduadi, Mlati, Sleman, Kamis (11/8/2022).
Kegiatan yang diusung Komisi II DPR RI ini mengangkat tema “Gotong Royong Membumikan Pancasila”. Dibuka dengan dua penari gambyong mengiringi empat narasumber yakni Anggota Komisi II DPR RI H. Sukamto, S.H., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat dan Alumni UGM Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si., Kepala Biro Pengawasan Internal BPIH Pusat Abas, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) H. Sukirno, S.H., M.H., dan moderator Dr. Riyanto Nugroho. H. Sukamto dalam paparannya mengatakan bahwa bangsa Indonesia mulai melupakan sejarah lahirnya Pancasila, penggali dan perumus Pancasila, filsafat dasar Pancasila, sila-sila Pancasila, bahkan meninggalkan Pancasila.
Menurutnya, Indonesia dihadapkan dengan tantangan kebangsaan internal dan eksternal. Tantangan internal yakni melemahnya penghayatan, fanatisme kedaerahan, kurang berkembangnya penghargaan atas kemajemukan dan kebhinekaan, dan lain-lain. Adapun tantangan eksternal berupa globalisasi dan kapitalisme, fundamentalisme pasar dan menguatnya fundamentalisme agama.
“Ideologi Pancasila sangat penting karena kedudukannya bahwa Pancasila merupakan jiwa bangsa Indonesia, kepribadian, pandangan hidup, dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, cita-cita bangsa, dan perjanjian luhur bangsa Indonesia,” jelasnya.
Mengangkat judul “Kebangsaan, Pancasila dan Kedaulatan: Tantangan Saat Ini dan Agenda ke Depan”, Arie Sudjito menyentil bahwa Pancasila biasanya hanya dibahas saat terjadi masalah, seperti etnis dan agama.
“Spirit Pancasila diperlukan seperti kepekaan akan problem-problem kemiskinan, karena kesenjangan dan kemiskinan seringkali memunculkan konflik,” katanya.
Tantangan yang dihadapi saat ini, tidak sekedar menjelaskan makna Pancasila, namun menjadi tugas bersama untuk memahamkan dan mengartikulasikan makna Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
“Pancasila perlu dihadirkan dalam hal-hal kecil, bahkan narasi seperti klithih pun dapat nyambung dengan Pancasila,” ujarnya.
Arie berharap anak-anak muda menjadi duta Pancasila dan duta anti kekerasan untuk menterjemahkan makna Pancasila. “Mari menterjemahkan valuenya dalam kehidupan sehari-hari di hari ini, sajikan dalam audio visual yang disukai anak-anak muda,” ajaknya.
Senada dengan Arie, untuk menumbuhkan kecintaan terhadap Pancasila, Abas mengajak peserta untuk terlibat dalam kegiatan kaum milenial yang mereka senangi, seperti film, musik, kuliner, dan olahraga. Terdapat 128 juta penduduk Indonesia merupakan generasi milenial yang identik dengan dunia digital.
“Anak muda diajak untuk memanfaatkan media sosial dengan membumikan Pancasila melalui internet dan membanjiri dunia digital dengan konten positif,” katanya.
Di samping itu, berkaitan ideologi dan agama, menurut H. Sukirno, ideologi tidak sama dengan agama, ideologi Pancasila pun tidak akan memposisikan sebagai agama.
“Agama itu mendasarkan nilai moral dan budi pekerti, jangan mempertentangkan agama dan Pancasila, semangatnya kan menyepakati yang sama, yang berbeda mari meningkatkan toleransi,” ajaknya.
H. Sukirno menambahkan perlunya keteladanan, menjadi contoh dimana pun, termasuk mengamalkan Pancasila. Sementara itu, Atus Syahbudin mengatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi itu sudah final, bahkan Pancasila sebagai alat pemersatu dari pluralisme Indonesia.
“Kitab suci kita mengajari pula pahala dan ancaman. Monitoringnya ada malaikat pencatat amal dan ketegasan pemberi hukumannya, nah kalau Pancasila kita, apanya yang masih kurang?” kata Atus.
Ilmunya mungkin banyak, tapi kenyataannya pengamalan di lapangan mungkin masih banyak belum konsisten seperti masih adanya kemiskinan, kesenjangan, tidak ada yang peduli dan minimnya keteladanan. Hal itu berpotensi memunculkan konflik.
“Mari kita mulai pengamalan Pancasila dari RT atau keluarga kita masing-masing. Sila pertama mengisi dan menjiwai sila-sila selanjutnya,” ajaknya.
Sebagai dosen kehutanan UGM, pihaknya sudah menjelajah hutan-hutan dan suku-suku di sekitarnya. “Saya pun bersyukur dan berbangga bahwa kita kaya sumber daya alam dan budaya. Saat ke luar negeri pun kita senang bahwa Indonesia sumber daya alamnya keren banget,” katanya.
Membumikan Pancasila menjadi PR bersama. Tidak hanya pengetahuan, namun harus bisa hingga pengamalan. Atus mencontohkan, Sumbu Filosofi adalah kasus siswa SMA kita bahkan tidak tahu, apalagi mengamalkan atau merawatnya dan lain-lain. “Di samping itu, LDII didirikan tahun 1972 dengan berasaskan Pancasila. Warga LDII didorong agar patuh kepada pemerintah yang sah, Pancasila dan UUD 1945,” tutupnya.
Peserta beserta narasumber saat Salam Pancasila (dari kanan ke kiri) MC, Dosen Fakultas Hukum UII H. Sukirno, Kepala Biro Pengawasan Internal BPIH Pusat Abas, S.H., M.H., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat dan Alumni UGM Arie Sujito, Anggota Komisi II DPR RI H. Sukamto, S.H., moderator.
Oleh: Uyun Kusuma (contributor) / Fachrizal Wicaksono (editor)