Cinta yang Tak Sekadar Kepo

Dinda dan Sandra duduk di bawah pohon angsana menikmati sore yang tenang. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan bunga yang sedang mekar. Burung-burung kecil berkicau, menambah suasana alam yang menenangkan.

Dinda melihat ke atas, ke langit yang mulai memerah. “Mbak, cinta itu apa sih?” tanyanya kepada kakak sulungnya, Sandra, memecah keheningan.

Sandra menoleh dan tersenyum. “Kenapa tiba-tiba nanya begitu? Lagi kasmaran, ya?” godanya.

Dinda tertawa kecil. “Enggak juga. Cuma penasaran aja. Kayaknya banyak orang yang salah paham tentang cinta,” jawabnya.

Sandra mengangguk setuju. “Betul. Kebanyakan orang cuma tahu falling in love, padahal ada standing in love yang jauh lebih dalam dan bermakna,” ujarnya, mengutip pemikiran Fahruddin Faiz, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Falling in love itu fase awal cinta, yang penuh dengan gejolak emosi. Rasanya seperti dunia milik berdua, jantung berdebar kencang setiap kali bertemu, dan semua yang terlihat indah,” jelas Sandra.

Dinda mengangguk-angguk, mencoba membayangkan perasaan itu. “Terus, standing in love itu apa?” tanyanya.

Standing in love itu cinta yang sudah matang, cinta yang didasari oleh empat pilar utama: knowledge (pengetahuan), respect (rasa hormat), care (kepedulian), dan responsibility (tanggung jawab),” jawab Sandra.

“Pertama, knowledge. Kalau kita mencintai seseorang, kita pasti ingin mengenalnya lebih dalam. Kita ingin tahu apa yang dia suka, apa yang dia impikan, apa yang membuatnya bahagia atau sedih. Kita jadi ‘kepo’, tapi bukan untuk mengontrol, melainkan untuk memahami,” jelas Sandra.

Dinda tertawa. “Iya, kalau suka sama seseorang, pasti penasaran banget sama semua tentang dia,” timpalnya.

“Kedua, respect. Cinta yang tulus berarti menerima pasangan apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukan mencoba mengubahnya sesuai dengan keinginan kita. Cinta itu menerima tanpa syarat,” lanjut Sandra.

“Kedengarannya ideal banget,” gumam Dinda.

“Iya. Tapi bukan berarti kita jadi cuek. Makanya ada unsur ketiga, yaitu care. Kita peduli dengan kebaikan dan kebahagiaan orang yang kita cintai. Kita ingin dia menjadi versi terbaik dari dirinya,” kata Sandra.

“Jadi, cinta itu bukan cuma menerima, tapi juga membantu dia berkembang,” simpul Dinda.

“Tepat sekali! Dan yang terakhir, yang paling penting adalah responsibility. Cinta itu butuh tanggung jawab. Kita harus siap menghadapi suka dan duka bersama, bukan hanya mencari kesenangan semata. Banyak orang yang terjebak di falling in love dan tidak mau melangkah ke standing in love. Padahal, cinta sejati itu butuh komitmen dan tanggung jawab,” tegas Sandra.

Dinda terdiam, merenungkan kata-kata Sandra. Tiba-tiba, ia tersenyum. “Jadi, cinta itu memang kepo, ya Mbak. Kita ingin tahu segalanya tentang orang yang kita cintai, supaya kita bisa memahami dan mendukungnya,” ujarnya.

Sandra menepuk bahu Dinda. “Betul sekali. Kalau dia punya mimpi besar, kita pasti ingin tahu lebih banyak tentang mimpinya itu, kan? Supaya kita bisa menjadi bagian dari kesuksesannya,” kata Sandra.

Sore itu, Dinda pulang dengan membawa pencerahan baru tentang cinta. Ia menyadari bahwa cinta sejati bukanlah sekadar perasaan yang menggebu-gebu di awal, tetapi sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, pengertian, dan komitmen. Cinta adalah pilihan untuk terus belajar, bertumbuh, dan menjadi lebih baik bersama orang yang kita cintai. /*

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *